1. Organisasi Ekonomi dan Pendidikan

a. Budi Utomo (1908)Politik etis yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda membawa dampak munculnya priyayi Jawa yang “baru” atau priyayi rendahan, mereka memiliki pandangan bahwa kunci dari kemajuan adalah pendidikan.kelompok inilah yang kemudia dianggap sebagai kelompok pembentuk organisasi pergerakan yang benar-benar modern. Dilatarbelakangi kondisi ekonomi yang buruk di Jawa, dr. Wahidin Sudiro Husodo pada tahun 1906-1907 barkeliling pulau jawa, untuk memberikan penerangan tentang cita-citanya kepada para pegawai Belanda dan dalam berusaha mencari dana untuk beasiswa bagi pelajar Indonesia yang kurang mampu tapi cakap, dr. wahidin berkeinginan untuk mendirikan badan pendidikan yang di sebut Studifonds. Usaha dr. Wahidin tidak mendapatkan tanggapan yang positif dari pegawai pemerintahan Belanda. Namun usahanya mendapat respon dari para pelajar. Usaha beliaulah yang merupakan pendorong bagi pelajar, untuk mendirikan organisasi.

Organisasi Budi Utomo berdiri tanggal 20 Mei 1908 oleh para mahasiswa Sekolah Kedokteran (STOVIA) di Jakarta, yaitu Sutomo, Suraji, Gunawan Mangunkusumo. Budi Utomo (BU) ini sejak awal sudah menetapkan bidang pendidikan sebagai pusat perhatiannya, dengan wilayah Jawa dan Madura sebagai sasaran. Pro dan kontra selalu mewarnai dalam kehidupan berorganisasi, tak terkecuali BU. Yang kontra mendirikan organisasi tandingan Regent Bond, yang anggota-anggotanya berasal dari kalangan bupati penganut status quo yang tidak menginginkan perubahan. Sedang yang pro, antara lain Tirto Kusumo, merupakan kalangan muda yang berpikiran maju.

Pada kongres BU yang diselenggarakan pada 3-5 Oktober 1908, Tirto Kusumo diangkat menjadi Ketua Pengurus Besar. Dalam kongres ini etnonasionalisasi semakin bertambah besar. Selain itu, dalam kongres tersebut juga timbul dua kelompok, yaitu kelompok pertama diwakili olah golongan pemuda yang merupakan minoritas yang cenderung menempuh jalan politik dalam menghadapi pemerintah kolonial. Adapun kelompok kedua merupakan golongan mayoritas diwakili oleh golongan tua yang menempuh perjuangan dengan cara lama, yaitu sosiokultural.

Golongan minoritas yang berpandangan maju dalam organisasi ini dipelopori oleh Dr. Tjipto Mangunkusumo. Dia ingin Budi Utomo bukan hanya sebagai organisasi yang mementingkan rakyat, melainkan organisasi yang memiliki jaringan di seluruh Indonesia.

Sementara itu, golongan tua menginginkan dibentuknya Dewan Pimpinan yang didominasi oleh golongan tua. Golongan ini juga mendukung pendidikan yang luas bagi kaum priyayi dan mendorong kegiatan pengusaha Jawa. Tjipto terpilih sebagai salah satu anggota dewan. Namun, pada 1909 ia mengundurkan diri dan bergabung dengan Indische Partiij. Pada tahun 1914 terjadi peristiwa besar yakni Perang Dunia I, pada saat itulah BU memikirkan bagaimana mempertahankan Indonesia dari serangan luar. Dalam rapat umumnya di Bandung pada 5-6 Agustus 1915 ditetapkan mosi yang menegaskan pelu adanya milisi yang harus diputuskan dalam parlemen. Menurut BU, untuk tujuan itu harus dibentuk dewan perwakilan rakyat terlebih dahulu. Untuk tujuan itu, BU ikut dalam dalam komite “Indie Weber” yang dalam rapat-rapatnya diusulkan untuk membentuk Dewan rakyat (Volksraad). Dengan sikap BU yang moderat, ternyata usulan dibentuknya Dewan Perwakilan Rakyat dapat terealisasi pada tahun 1918, atau ketika Perang Dunia I berakhir, hal ini menunjukkan bahwa Belanda memandang BU tidak berbahaya bagi Belanda.

Bulan April 1931 BU melakukan terobosan besar dengan mengubah anggaran dasarnya, yang salah satu poinnya adalah membuka diri bagi semua golongan bangsa Indonesia, tidak hanya terbatas pada orang Jawa. Pada kongres itu diputuskan bahwa BU harus bekerja sama dengan oraganisasi-organisasi lain yang bersifat kooperatif.

b. Sarekat Islam (1911)

Monopoli pedagang Cina dalam penjualan bahan baku dirasakan oleh pengusah batik Indonesia di Solo sangat merugikan. Pedagang Cina seringkali mempermainkan harga, yaitu dengan menjual bahan tersebut sedikit demi sedikit. Keadaan itu mendorong H. Samanhudi di Solo, mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) yang bersifat kooperatif pada tahun 1911. Karena sifatnya yang merakyat dan pertumbuhannya yang pesat, pada 1912 atas usul Haji Oemar Said Cokroaminoto, namanya diubah menjadi Sarekat Islam. Tujuannya pun diperluas lagi, antara lain:

(1) memajukan semangat dagang bangsa;

(2) memajukan kecerdasan dan kehidupan rakyat menurut perintah agama Islam;

(3) menghilangkan paham-paham yang keliru tentang agama Islam;

(4) mempertebal rasa persaudaraan dan saling tolong menolong.

Pada 26 Januari 1913 diadakan kongres Sarekat Islam yang pertama di Surabaya, yang dipimpin oleh H.O.S. Cokroaminoto. Dalam kongres ini ditegaskan: SI bukan partai politik dan tidak bereaksi melawan Belanda. Kongres kedua diselenggarakan di Solo. Dalam kongres ini ditegaskan lagi bahwa SI terbuka hanya untuk bangsa Indonesia rakyat biasa, sementara pegawai pangreh praja (yang bekerja pada instansi pemerintah kolonial) tidak boleh masuk. Pada tahun 1915 di Surabaya didirikan Central Sarekat Islam (CSI). Tujuannya untuk membantu SI daerah. Pada tanggal 17-24 juni 1916 diadakan kongres SI ketiga di Bandung, yang diberi nama Kongres Nasional pertama. Dalam kongres itu, 80 cabang SI daerah mengirimkan utusan yang mewakili 360.000 anggota. Sedangkan jumlah anggota seluruhnya 800.000 orang dan terus meningkat hingga pada tahun 1919 anggotanya telah mencapai 2.250.000 orang.

Namun, karena perbedaan ideologi dan taktik yang dianut, dalam perkembangannya berikutnya SI pecah menjadi dua kelompok, yakni:

(1) SI Putih, yang berlandaskan pada asas perjuangan yang semula, yaitu Islam; dipimpin H.O.S. Cokroaminoto;

(2) SI Merah, yaitu kelompok anggota SI yang berhaluan sosialis kiri yamg ingin bergerak secara radikal dan revolusione; dipimpin oleh Darsono dan Semaun yang berasal dari kader ISDV.

ISDV adalah akronim dari Indische Sociaal Democratische Vereniging, organisasi berhaluan Marxisme yang didirikan oleh sekelompok sosialis Belanda. Pada tahun 1923 SI meninggalkan sikap kooperatif, menjadi nonkooperatif dengan mengubah namanya menjadi Partai Sarikat Islam (PSI), kemudian pada tahun 1930 diubah menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII).

c. Taman Siswa (1922)

Sejak dilaksanakan Politik Etis, pertambahan sekolah cukup banyak. Akan tetapi, jumlah tersebut sangat tidak seimbang dengan jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu, secara garis besar metode pendidikan yang diterapkan pemerintah tidah memberi peluang bagi tumbuhnya kebebasan berpikir. Siswa didik tidak dibimbing untuk kreatif dan berkreasi. Dari sanalah muncul usaha-usaha untuk memperbaiki sistem pendidikan yang ada, salah satunya adalah dengan berdirinya Taman Siswa.

Taman Siswa didirikan oleh Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Dalam melaksanakan pendidikan, taman siswa berpedoman pada pernyataan asas yang disusun pada tahun 1922. Pernyataan asas itu mengandung dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur diri sendiri. Hal itu berarti mendidik siswa untuk berpikir, berbuat, bekerja, dan berperan dalam batas-batas tujuan bersama yang tertib dan damai. Taman Siswa memiliki sistem pendidikan yang dinamakan dengan Tut Wuri Handayani, yakni bahwa dalam sistem ini guru bertindak sebagai pemimpin yang berdiri di belakang, tetapi mempengaruhi dan memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri.

2. Organisasi Keagamaan

Reformisme dan modernisme muncul pada abad ke-19 di Asia Barat Daya. Gerakan tersebut merupakan reaksi akan atas tantangan barat. Pusat gerakan adalah Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir dengan pemimpinnya Jamaluddin al-Afghani. Gerakan ini datang ke Indonesia berkat tokoh bernama Muhammad Iqbal dan Amir Ali. Gerakan tersebut ingin mencari nilai yang dianggap sesuai dengan zaman modern. reformasi bersifat nasionalistis yang percaya pada kemajuan dan pengetahuan. Oleh karena itu, hidup yang didasari oleh bekerja rajin dinilai sangat positif, sedang fatalisme dan tanpa usaha dianggap tidak rasional dan ditolak. kaum reformis menginginkan agama Islam bersih dari bid’ah (bidat). Kembali kepada Al-Quran adalah semboyan yang selalu didengungkan dan penghayatan pribadi lebih diutamakan.

Reformisme Islam dapat dianggap sebagai gerakan emansipasi keagamaan dan agamanya dihargai sepenuhnya oleh orang barat. Akibatnya, nasionalisme berdasarkan agama Islam meluas, termasuk ke Indonesia. Reformisme dan modernisme Islam masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Di Indonesia, reformisme dilakukan oleh sekelompok masyarakat Arab Hadramaut dan muslim India. Jalinan perkawinan dengan wanita Indonesia menyebabkan hubungan mereka menjadi akrab. Pikiran dan gerakan reformisme dan modernisme diterima oleh mereka dan diteruskan ke masyarakat Indonesia. Perbaikan kaum muslim harus dilakukan melalui pendidikan yang sedapat mungkin mengimbangi pemikiran barat yang sudah ada.

a. Muhammadiyah

Gerakan Muhamadiyah didirikan oleh H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Asas perjuangannya adalah Islam dan kebangsaan Indonesia. Muhammadiyah bergerak dalam bidang keagamaan, pendidikan, sosial budaya yang menjurus kepada tercapainya kebahagiaan lahir & batin. Tujuan pokoknya ialah: menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Tujuan-tujuan Muhammadiyah yang sifatnya operasional, antara lainnya:

(1) mengembalikan pendidikan dan pengajaran yang berlandaskan agama Islam;

(2) mengembalikan ajaran Islam sesuai Qur’an dan Hadis dan membolehkan adanya ijtihad;

(3) mengajak umat Islam untuk hidup selaras dengan ajaran agama Islam;

(4) berusaha meningkatkan kasejahteraan hidup umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya;

(5) menyantuni anak yatim piatu;

(6) membina dan menyiapkan generasi muda agar kelak dapat menjadi pemimpin-pemimpin masyarakat, agama, dan bangsa yang adil dan jujur.

Karena merupakan gerakan reformasi Islam, Muhammadiyah tidak menghendaki adanya bid’ah, takhayul, klenik, dan taqlid. Di antara sekian usaha itu yang paling menonjol adalah usaha di bidang pendidikan dan sosial, ditandai dengan banyaknya sekolah-sekolah Muhammadiyah dari TK hingga perguruan tinggi dan panti asuhan anak yatim. Muhammadiyah juga mendirikam kepanduan, yang disebut Hizbul Wathan.

Di samping itu didirikan pula Aisiyah, perkumpulan wanita Muhamadiyah, didirikan pada 1918. Pimpinan pusat mula-mula dijabat oleh Siti Walidah Ahmad Dahlan, dan kemudian dilimpahkan pada Siti Bariyah. Kegiatan Aisiyah yang pokok adalah di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan kewanitaan Islam.

b. Al-Irsyad dan Partai Arab Indonesia

Gerakan Islam modern juga dilakukan oleh keturunan Arab. Kelompok sayid yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad tetap mengelola Jamiat Khair, sedangkan kelompok yang bukan keturunan sayid mendirikan perkumpulan Al-Irsyad pada 1914 dengan bantuan Syekh Ahmad Surkati (asal Sudan) yang semula mengajar di Jamiatul Khair. Organisasi itu menekankan persamaan umat manusia.

Jumlah keturunan arab di Indonesia ternyata cukup banyak sehingga perlu diberi wadah dalam partai khusus. Lebih lagi karena mereka merasa lahir di Indonesia dari wanita Indonesia. Karena itulah A.R. Baswedan mendirikan Partai Indonesia pada tahun 1934. Tidak diragukan lagi bahwa partai itu menekankan Indonesia sebagai tanah airnya.

c. PerkumpulanPolitik Katolik Jawi

Di kalangan kaum Nasrani juga lahir organisasi, yakni PPKJ (Perkumpulan Politik Katolik Jawi), didirikan pada 22 Februari 1925 di Yogyakarta. PPKJ bertujuan turut berusaha sekuat tenaga bagi kemajuan Indonesia, didasarkan atas ajaran Katolik. Organisasi ini bersifat kooperatif. Tokoh organisasi ini adalah I.J.Kasimo, seorang pegawai gubernemen. Pada Maret 1930 diadakan kongres pertama. Keputusannya antara lain menuntut penghapusan poenale santice dari aturan kuli kontrak.

d. Nahdlatul Ulama (NU)

Pusat penyebaran agama Islam di kota maupun di desa dikenal dengan nama pesantren. Tamatan pesantren diharapakan dapat mendirikan pesantren di tempat lainnya. Pada umumnya pesantren yang berpusat di pedesaan menjadi pusat pengajaran agama Islam yang sudah tua sekali, sedangkan pusat pengembangan Islam di kota biasanya datang kemudian dan menjadi pusat pembaruan Islam. Dapat dikatakan bahwa pusat agama Islam dan pengikutnya di pedesaan adalah para ulama dan santri tradisionalis dan mereka yang tinggal di kota adalah pengikut modernis. Jadi, wadah gerakan Islam tradisionalis sebenarnya sudah ada sejak lama.

Makin meluasnya gerakan Islam baru di kota-kota seperti yang dilakukan oleh Sarekat Islam dan Muhammadiyah, berarti mengurangi ruang gerak umat Islam di pedesaan. Untuk menampung dan memberikan wadah di pedesaan perlu dibentuk organisasi yang secara resmi mengikat anggotanya untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara itu, pada tahun 1926 di Hejaz, Arab Saudi, diselenggarakan Kongres Islam sedunia. Untuk menghadiri kongres itu masing-masing lembaga mengirim delegasinya hingga terbentuk delegasi Hejaz. Para ulama terkemuka terus membahas pemberian nama lembaga itu dan akhirnya Jam’iyatul Nahdlatul Ulama pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya. Delegasi Komite Hejaz mewakili NU. Delegasi itu sudah sah karena dikirim oleh sebuah organisasi Islam.

Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama) adalah organisasi sosial keagamaan atau Jamiyyah Diniyah Islamiyah yang didirikan oleh para ulama, yaitu K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Abdullah Wahab Hasbullah, K.H. Bisri Syamsuri, K.H. Mas Alwi, dan K.H. Ridwan. Mereka pemegang teguh pada salah satu dari empat mahzab, berhaluan Ahlussunnah waljama’ah. Tujuannya tidak saja mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam, tetapi juga memperhatikan masalah sosial, ekonomi, dan sebagainya dalam rangka pengabdian kepada umat manusia. Pada dasarnya Nahdlatul Ulama tidak mencampuri urusan politik dan dalam kongresnya pada bulan oktober 1928 di Surabaya diambil keputusan untuk menentang reformasi kaum modernis dan perubahan yang dilakukan wabahi di hejaz. Kaum Islam reformis dalam beberapa hal bersikap seperti kaum nasionalis yang tidak mengaitkan agama, misalnya dalam masalah perkawinan, keluarga, kedudukan wanita, dan sebagainya. Pusatpusat NU ada di Surabaya, Kediri, Bojonegoro, Bondowoso, dan Kudus. Pada tahun 1935 NU sudah memilki 68 cabang dengan anggotanya 6.700 orang.

Di dalam Kongres NU di Menes (Banten) tahun 1938, jelas NU berusaha meluaskan pengaruhnya di seluruh Jawa. Pada kongres tahun 1940 di Surabaya diputuskan berdirinya bagian wanita, Nahdlatul Ulama Muslimat dan bagian Pemuda Anshor (sudah dibentuk beberapa tahun sebelumnya). Pemuda Anshor didirikan berdasarkan pan Islamisme. Oleh karena itu, Anshor berhaluan Internasional.

e. Ahmadiyah

Gerakan Ahmadiyah Indonesia didirikan oleh Mirza Wali Ahmad Beid pada bulan September 1929. Organisasi itu berdasarkan pada Al-Quran sebagai kitab suci yang menjadi sumber dan arah hidup terbaik. Ada keyakinan bahwa nabi muhammad adalah nabi penutup dan manusia harus mengikuti contoh perbuatannya, dan mengaku adanya pembaharu (mujaddid) setelah Nabi Muhammad. Ahmadiyah muncul karena adanya pengaruh dari Ahmadiyah di Kadian India yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai mujaddid pada tahun 1884. Ahmadiyah menekankan kewajiban manusia untuk bertindak baik dengan penuh persaudaraan, hormat-menghormati, ramah, dan sebagainya. Pada tahun 1908 terjadi perpecahan karena salah seorang pemimpinnya, Kwayah Kamaludin mendirikan Ahmadiyah berpusat di Lahore. Ahmadiyah Kadiyan, dan Lahore sangat besar pengaruhnya di Indonesia dan Yogyakarta dijadikan pusatnya. Ahmadiyah di Indonesia tidak mencampuri urusan politik dan hanya mempersoalkan prinsip keagamaan dalam Islam. Pengaruh Ahmadiyah di kalangan pemuda dan pelajar yang berpendidikan barat cukup kuat.

f. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) 1937

Majelis ini disebut juga Majelis UI Islamil A’la Indonesia atau Majelis Islam Luhur. MIAI didirikan di Surabaya pada September 1937 atas prakarsa tokoh-tokoh Muhammadiyah, PSII, PII, Al-Irsyad, Persis, Persatuan Ulama Indonesia, Al-Washiliyah, Al- Islam, Warmusi (Wartawan Muslim Indonesia). Adapun susunan pengurusnya sebagai berikut :

Ketua: K.H.A. Wahid Hasyim (NU),

Wakil Ketua I: K.H. Mas Mansyur (Muhammadiyah),

Wakil Ketua II: Wondoawiseno (PSII),

Bendahara: Sukirman,

Sekretaris: Satrodiwiryo (Persis).

Mulanya MIAI tidak berpolitik, tetapi kemudian mengikuti kegiatan dalam aksi-aksi politik menetang penjajah bersama GAPI dan Majelis Rakyat Indonesia. Kegiatan MIAI yang utama adalah melaksanakan kongres-kongres partai dan organisasi Islam Indonesia. Pada masa penjajahan Jepang, kegiatan dan perjuangan MIAI dibubarkan oleh Jepang.

3. Gerakan Pemuda yang Bersifat Kesukuan dan Keagamaan

a. Trikoro Dharmo/Jong Java

Gerakan pemuda Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak berdirinya Budi Utomo. Sebab para pendiri Budi Utomo sebenarnya para pemuda yang masih menjadi murid-murid STOVIA. Namun sejak kongresnya yang pertama, Budi Utomo telah diambil alih kaum priyayi (bangsawan) dan para pegawai negeri, sehingga para pemuda kecewa lalu keluar dari Budi Utomo. Pada 7 Maret 1915, para pemuda keluaran Budi Utomo mendirikan organisasi pemuda yang disebut Trikoro Dharmo di Jakarta. Para pemimpinnya antara lain: R. Sukiman Wiryosanjoyo (Ketua), Sunardi-Wongsonegoro (wakil ketua), Sutomo (Sekretaris).

Sementara itu, para anggotanya: Muslich, Musodo, dan Abdul Rachman. Yang diterima sebagai anggota hanya anak-anak sekolah menengah yang berasal dari pulau Jawa dan Madura. Trikoro Dharmo artinya “Tiga Tujuan Mulia”, yaitu: sakti, budi, dan bakti. Adapun tujuan organisasi ini ialah:

(1) mempererat tali hubungan, antara murid-murid bumi putera pada sekolah menengah dan perguruan kejuruan;

(2) menambah pengetahuan umum bagi anggota-anggotanya;

(3) membangkitkan dan mempertajam perasaan buat segala bahasa dan kebudayaan Hindia;

(4) memperkokoh rasa persatuan dan persatuan di antara pemuda-pemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali dan Lombok;

Pada tahun 1918 lewat kongresnya yang pertama di Solo, nama Trikoro Dharmo diubah menjadi Jong Java. Hal ini dimaksudkan agar para pemuda di luar Pulau Jawa, tata sosialnya berdasarkan budaya Jawa akan mau, memasuki Jong Java. Kegiatan Jong Java berkisar pada masalah sosial dan kebudayaan, misalnya pemberantasan buta huruf, kepanduan, kesenian. Jong Java tidak ikut terjun dalam dunia politik dan tidak pula mencampuri urusan agama tertentu. Bahkan para anggotanya dilarang menjalankan politik atau menjadi anggota partai politik. Akan tetapi, sejak tahun 1942, karena pengaruh gerakan radikal, maka Syamsuridjal (ketuanya) mengusulkan agar anggota yang sudah berusia 18 tahun diberi kebebasan berpolitik dan agar Jong Java memasukkan program memajukan agama Islam. Usul ini ditolak, akibatnya para anggotanya yang menghendaki tujuan ke dalam dunia politik dan ingin memajukan agam Islam mendirikan Jong Islamieten Bond. Organisasi ini dipimpin Haji Agus Salim.

b. Jong Sumatranen Bond (9 Desember 1917)

Setelah Jong Java, para pemuda Sumatera yang belajar di Jakarta, pada tanggal 9 Desember 1917 mendirikan organisasi serupa yang disebut Jong Sumatranen Bond. Adapun tujuannya adalah :

(1) mempererat ikatan persaudaraan antara pemuda-pemuda pelajar Sumatra dan membangkitkan perasaan bahwa mereka dipanggil untuk menjadi pemimpin dan pendidik bangsanya.

(2) membangkitkan perhatian anggota-anggotanya dan orang luar untuk menghargai adapt istiadat, seni, bahasa, kerajinan, pertanian dan Sejarah Sumatra.

Untuk mencapai tujuan itu, dilakukan usaha-usaha sebagai berikut:

(a) menghilangkan adanya perasaan prasangka etnis di kalangan orang-orang Sumatera;

(b) memperkuat perasaan saling membantu;

(c) bersama-sama mengangkat derajat penduduk Sumatra dengan alat propaganda, kursus, ceramah-ceramah dan sebagainya.

Berdirinya Jong Sumatranen Bond ternyata dapat diterima oleh pemuda-pemuda Sumatera yang berada di kota-kota lainnya. Oleh karena itu, dalam waktu singkat organisasi ini sudah mempunyai cabng-cabangnya di Jakatra, Bogor, Serang, Sukabumi, Bandung, Purworejo, dan Bukittinggi. Dari organisasi inilah kemudian muncul tokoh-tokoh nasional seperti Moh. Hatta,

Muh. Yamin, dan Sutan Syahrir. Atas kesadaran nasionalisme, nama Jong Sumatranen Bond yang menggunakan istilah bahasa Belanda, diubah menjadi Pemoeda Soematra.

c. Jong Ambon

Jong Ambon didirikan pada tahun 1918. Sebelum itu sebenarnya telah lahor berbagai organisasi yang didirikan oleh orang-orang Ambon. Misalnya: Ambons Studiefonds (1909) oleh Tehupeilory, Ambons Bond (1911) untuk pegawai negeri, Mena Muria (1913) di Semarang, dan Sou Maluku Ambon di Ambon. Pada 9 Mei 1920, A.J Patty mendirikan Serikat Ambon di Semarang. Tujuannya yaitu ntuk mempersatuakan semua organisasi Ambon, hingga menjadi organisasi politik Ambon yang pertama. Karena ia sangat aktif melakukan kampanye di mana-mana. Akhirnya ia ditangkap oleh pemerintah kolonial dan diasingkan. Perjuangan berikutnya diteruskan oleh Mr. Latuharhary.

d. Jong Minahasa dan Jong Celebes

Jong Minahasa dan Jong Celebes didirikan pada 25 April 1919 oleh tokoh-tokoh muda Minahasa yaitu Samuel Ratulangie. Jong Minahasa tampaknya sebagai lanjutan dari organisasi yang telah dibentuk sejak 1912 di Semarang, yaitu Rukun Minahasa. Tahun 1917 muncul pula organisasi Minahasa Celebes di Jakarta. Tetapi dalam kenyataan Jong Minahasa dan Jong Celebes tidak bisa tumbuh menjadi besar karena jumlah pelajar dari Sulawesi tidak begitu banyak.

e. Perkumpulan Pemuda Daerah lainnya

Dengan berdirinya Jong Java, Jong Sumatranen Bond, suku-suku bangsa lainnya juga tidak ketinggalan. Mereka ikut mendirikan organisasi berbagai perkumpulan pemuda, antara lain :

(1) Sekar Rukun (1920), didirikan oleh para pemuda Sunda di Jakarta.

(2) Pemuda Betawi, didirikan oleh para pemuda asli Jakarta yang dipimpin oleh Husni Thamrin.

(3) Timorsch Verbond, didirikan di makasar (8 Juni 1922) untuk suku Timor

(4) Jong Batak Bond, didirikan untuk suku Batak pada tahun 1926.

f. Organisasi Pemuda yang bersifat Keagamaan

(1) Muda Kristen Djawi (MKD) didirika pada tahun 1920.

Mula-mula menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dan pergaulan, akan tetapi akhirnya diganti dengan bahasa Indonesia, Perkumpulan-Perkumpulan Pemuda Kristen (PPPK).

(2) Jong Islamieten Bond (JIB), didirikan pada tanggal 1 januari 1925 oleh Syamsuridjal (Raden Sam). Semula ia sebagai ketua Jong Java, oleh karena kedua usulnya dalam kongres ditolak. Ia bersama kawannya keluar dari Jong Java, kemudian mendirikan Jong Islamieten Bond yaitu organisasi pemuda yang berdasarkan Islam. Tujuannya adalah untuk mempererat persatuan dikalangan pemuda Islam dan memajukan agama Islam bagi anggotaanggotanya. Adapun kegiatannya antara lain: mengadakan kursus-kursus agama Islam, darmawisata, olah raga dan seni,ceramah-ceramah dan study club, menerbitkan majalah, brosur, buku-buku dan sebagainya.

(3) Persatuan Murid-murid Diniyah School (PMDS). Ini adalah organisasi pemuda di dalam lingkungan keagamaan (Diniyah School). Organisasi ini didirikan oleh Zainuddin Labai El Yunusy di Padang Panjang (Sumatra Barat) tanggal 10 Oktober 1915.

g. Organisasi-Organisasi Wanita Atas Dasar Emansipasi

Konsep egaliterianisme (persamaan) dalam Revolusi Prancis ternyata menyangkut masalah bias gender. Kaum wanita yang sebelumnya menjadi makhluk kedua sesudah pria, setelah Revolusi Prancis menjadi lebih berani dan percaya diri bahwa mereka pun sama dengan kaum pria yang memiliki tanggung jawab sosial yang relatif sama. Pergerakan paham emansipasi pada gilirannya mencapai Indonesia pula yang tengah dalam giatgiatnya membangun kesadaran kebangsaan.

Seperti halnya dengan para pemuda, kaum perempuan Indonesia tidak ketinggalan dalam menyumbangkan tenaga dan pikirannya dalam memperluas dan memperkuat perasaan kebangsaan. Mereka juga mendirikan organisasi-organisasi kewanitaan, dengan menitik beratkan perjuangannya pada perbaikan kedudukan sosial wanita. Seperti halnya hal yang menyangkut perkawinan, keluarga, peningkatan pengetahuan, pendidikan, dan keterampilan wanita.

Pada mulanya gerakan mereka merupakan bagian dari organisasi lokal kedaerahan atau keagamaan. Organisasi-organisasi wanita yang berdiri pada masa pergerakan nasional antara lain :

1) Putri Mardika (1912)

Putri Mardika adalah organisasi keputrian tertua dan merupakan bagian dari Budi Utomo. Tujuannya adalah untuk memberikan bantuan, bimbingan dan penerangan kepada wanita-wanita pribumi dalam menuntut pelajaran dan dalam menyatakan pendapat di muka umum. Kegiatannya antara lain sebagai berikut: memberikan beasiswa dan menerbitkan majalah bulanan. Tokoh-tokohnya: P.A Sabarudin, R.A Sutinah Joyopranoto, R.R Rukmini, dan Sadikun Tondokukumo.

2) Kartini Fonds (Dana Kartini)

Organisasi ini didirikan oleh Tuan dan Nyonya C. Th. Van Deventer, tokoh politik etis. Salah satu usahanya adalah mendirikan sekolah-sekolah, misalnya: Sekolah Kartini di Jakarta, Bogor, Semarang (1913), setelah itu di Madiun (1914), Malang dan Cirebon (1916), Pekalongan (1917), Subabaya dan Rembang.

3) Kautamaan Istri

Organisasi ini berdiri sejak tahun 1904 di Bandung, yang didirikan oleh R. Dewi Sartika. Pada tahun 1910 didirikan Sekolah Keutamaan Istri, dengan tujuan mengajar anak gadis agar mampu membaca, menulis, berhitung, punya keterampilan kerumahtanggaan agar kelak dapat menjadi ibu rumah tangga yang baik. Kegiatan ini kemudian mulai diikuti oleh kaum wanita di kota-kota lainnya, yaitu Tasikmalaya, Garut, Purwakarta, dan Padang Panjang.

4) Kerajinan Amal Setia (KAS)

KAS didirikan di Kota Gadang Sumatra Barat oleh Rohana Kudus tahun 1914. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pendidikan wanita, dengan mengajarkan cara-cara mengatur rumah tangga, membuat barang-barang kerajinan tangan beserta cara pemasarannya. Pada tahun itu juga, KAS berhasil mendirikan sekolah wanita pertama di Sumatera sebelum terbentuknya Diniyah Putri di Padangpanjang.

5) Aisyiah (1917)

Aisyiah didirikan pada 22 April 1917 dan merupakan bagian dari Muhammadiyah. Pendirinya adalah H. Siti Walidah Ahmad Dahlan. Kegiatan utamanya adalah memajukan pendidikan dan keagamaan bagi kaum wanita, memelihara anak yatim, dan menanamkan rasa kebangsaan lewat kegiatan organisasi agar kaum wanita dapat mengambil peranan aktif dalam pergerakan nasional.

6) Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT)

PIKAT didirikan pada bulan Juli 1917 oleh Maria Walanda Maramis di Menado, Sulawesi Utara. Tujuannya: memajukan pendidikan kaum wanita dengan cara mendirikan sekolah-sekolah rumah tangga (1918) sebagai calon pendidik anak-anak perempuan yang telah tamat Sekolah Rakyat. Di dalamnya diajari cara-cara mengatur rumah tangga yang baik, keterampilan, dan menanamkan rasa kebangsaan.

7) Organisasi Kewanitaan Lain

Organisasi Kewanitaan lain yang berdiri cukup banyak, antara lain : Pawiyatan Wanita di Magelang (1915), Wanita Susila di Pemalang (1918), Wanita Rukun Santoso di Malang, Budi Wanita di Solo, Putri Budi Sejati di Surabaya (1919), Wanita Mulya di Yogyakarta (1920), Wanita Katolik di Yogyakarta (1921), PMDS Putri (1923), Wanita Taman Siswa (1922), dan Putri Indonesia (1927).

8) Kongres Perempuan Indonesia

Pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia pertama. Kongres tersebut diprakarsai oleh berbagai organisasi wanita seperti: Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Wanita Mulya, Aisyiah, SI, JIB, dan Taman Siswa bagian wanita. Tujuan kongres adalah mempersatukan cita-cita dan usaha untuk memajukan wanita Indonesia, dan juga mengadakan gabungan antara berbagai perkumpulan wanita yang ada.

Dalam kongres itu diambil keputusan untuk mendirikan gabungan perkumpulam wanita yang disebut Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) dengan tujuan:

(a) memberi penerangan dann perantaraan kepada kaum perempuan, akan mendirikan studie fond untuk anak-anak perempuan yang tidak mampu;

(b) mengadakan kursus-kursus kesehatan;

(c) menentang perkawinan anak-anak;

(d) memajukan kepanduan untuk organisasi-organisasi wanita tersebut di atas, pada umumnya tidak mencampuri urusan politik dan berjuang dengan haluan kooperatif.

Sumber :

Suwito, Triyono, 2009, Sejarah 2 : Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah Program IPS Jilid 2 Kelas XI, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 244 – 256.